Sekjen FK-DKISIP, Drs. Tatang Sudarajat, SIP.M.Si. (FISIP Universitas Sangga Buana) sebagai Ketua Panitia Penyelenggara menyebutkan bahwa kegiatan ini merupakan salah satu wujud nyata kepedulian ilmuwan sosial politik dalam menyikapi salah satu isu kontroversial. Yaitu isu perpanjangan masa jabatan kepala desa, yang muncul pada tahun politik menuju pemilu 2024.
Dr. Soni A. Nulhaqim, S.Sos.M.Si. (Dekan FISIP Universitas Widyatama) yang juga sebagai Ketua Panitia Pelaksana tidak menafikan bahwa usulan perpanjangan masa jabatan ini bernuansa politik karena muncul ketika semua kekuatan parpol sudah mulai memanaskan mesin politik memasuki pemilu 2024. Adanya multi tafsir terhadap usulan ini serta beberapa isu lain tentang pemilu menjadi keharusan akademik untuk dibahas dalam forum ilmiah ini.
Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, MA dalam pemaparannya menyebutkan bahwa usulan ini erat berkaitan dengan konsep kekuasaan, demokrasi dan tata pemerintahan desa sebagai bagian integral dari sistem pemerintahan Indonesia. Kontroversi ini menjadi sesuatu yang multi aspek, karena berkenaan dengan berbagai dimensi kehidupan sosial politik yang saling berkelindan.
Lanjut Samugyo, sangat berisiko gagasan untuk menambah masa jabatan kepala desa ini, sebagai salah satu jenis jabatan publik yang melibatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
"Dalam tatanan pemerintahan saat ini, terdapat pejabat publik lain yang dipilih langsung oleh rakyat (elected official), selain kepala desa yang masa jabatannya ramai diperbincangkan. Mereka adalah pemangku jabatan eksekutif yang juga elected official, yaitu presiden, gubernur, bupati/walikota, yang masa jabatannya dibatasi 2 periode. Sementara itu, ada jabatan publik lain yang juga elected official, yang tidak ada pembatasan masa jabatan, yaitu anggota DPR, DPD dan DPRD. Seharusnya hal ini pun menjadi kajian akademis dalam forum FK-DKISIP karena tidak sedikit legislator yang menjabat lebih dari 30 tahun," papar Samugyo.
Sementara itu, Dr. Kisno Hadi, SIP.,M.Si. menguraikan tentang 5 fakta tentang desa, 5 fakta tentang permasalahan desa, serta dalam konteks tata kelola pemerintahan, partisipasi, transparansi dan efektivitas pemerintahan.
"Untuk itu, maka guna memastikan terjadinya sirkulasi elit dan tidak membentuk oligarki di desa, maka kalaupun perlu penambahan masa jabatan dari 6 tahun ke 3 tahun berikutnya (9 tahun), maka cukup dibatasi 1 periode saja," tegasnya.
Sedangkan menurut Dr. Herman Dema berdasarkan perspektif demokrasi dan otonomi desa, maka bila masa jabatannya diperpanjang menjadi 9 tahun akan berdampak buruk terhadap demokrasi dan mengabaikan regenerasi estafet kepemimpinan.
Senada dengan itu, Dr. As. Martadani Noor, MA. dalam pemaparannya menyebutkan bahwa isu perpanjangan masa jabatan tidak akan terlepas dari praktik politik transaksional. Hal ini berkaitan dengan peta transaksi politik jabatan kades, yang meliputi ancaman kohesi sosial dan konsolidasi konflik sosial, kebutuhan agenda parpol dan pimpinan nasional (pemilu), serta kerentanan kepercayaan publik, penyimpangan kekuasaan dan potensi KKN.
Dari perspektif demokrasi, menurut Drs. H. Muh. Juhad, MAP, bahwa usulan ini seharusnya menjadi pertimbangan wakil rakyat di Senayan, sehingga tidak merugikan rakyat dan mengebiri hak demokrasi untuk generasi bangsa.
Berkaitan dengan periodisasi masa jabatan, Wakil Ketua Umum FK-DKISIP, Drs. Denny Ramdhany (FISIP Universitas Jayabaya, Jakarta) mengemukakan bahwa tampaknya jumlah dana yang dikucurkan pemerintah kepada pemerintah desa menjadi salah satu pemicu usulan perpanjangan ini.
"Alokasi dana tahun 2022 sebesar Rp 68 trilyun untuk 74.961 desa, jumlah dana yang sangat besar untuk menjadi calon kepala desa serta masih lemahnya fungsi BPD, bisa menjadi masalah serius bila usulan ini disetujui," jelas Denny.
Sedangkan Rendy Adiwilaga, SIP., M.Sc. menandaskan bahwa wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa merupakan ujian integritasnya menjelang tahun politik yang sudah mulai “genit”. "Kades dan pemerintah desa perlu diberi wewenang yang lebih luas, terutama pada aspek strategisnya sebagai self government community," tuturnya.
Dr. Nany Harlinda Nurdin, M.Si., Dekan FISIP Universitas Indonesia Timur, Makassar, sebagai peserta seminar menolak usulan penambahan jabatan kepala desa agar tidak menambah permasalahan desa, mulai dari korupsi sampai dengan pengelolaan keuangan. "Lebih baik memaksimalkan masa jabatan yang saat ini berlaku serta memberikan pembekalan kepada mereka agar lebih bagus membangun desanya," tuturnya.
Peserta seminar, Ketua Pengurus Wilayah V (Jateng, Yogyakarta dan Jatim) FK-DKISIP, Dr. Usep Supriatna, M.Pd. yang juga Dekan FISIP Universitas PGRI Ronggolawe Tuban, Jawa Timur menandaskan bahwa usulan tersebut lebih merupakan naluri kekuasaan dan kenyamanan. "Adanya masa jabatan yang diperpanjang maka dapat mengabaikan janji pencapaian visi dan misi pada saat kampanye serta tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat," terangnya.
Peserta lainnya, Dekan FISIP Universitas Yudharta, Pasuruan Jawa Timur, Dr. Any Urwatul Wusko, S.Sos,,MAB. tidak sependapat dengan usulan penambahan masa jabatan ini, karena akan menyuburkan praktik oligarki, membuka keran abuse of power, serta sarat dengan kepentingan politik. "Jabatan yang selama ini 6 tahun menjadi kesempatan untuk mengembalikan modal yang digunakan ketika kampanye sehingga melupakan tugasnya dalam pengabdian kepada desanya," ungkapnya. (ay)